SatuBerita, Online//KUBU RAYA – Pemerintah Kabupaten Kubu Raya tengah diguncang isu serius terkait dugaan transaksi jual beli lahan hutan mangrove yang melibatkan seorang oknum kepala desa. Kasus ini menjadi perbincangan hangat publik setelah Bupati Kubu Raya, Sujiwo, secara terbuka memberikan pernyataan resmi kepada awak media, Selasa (22/4/2025), menyusul viralnya pemberitaan dan desakan masyarakat.
Dalam keterangannya, Sujiwo menyebutkan bahwa pihaknya telah mengambil langkah mediasi atas persoalan tersebut. Ia menegaskan bahwa Surat Pernyataan Tanah (SPT) yang menjadi dasar transaksi jual beli telah dibatalkan dan seluruh biaya yang berkaitan dengan proses tersebut telah dikembalikan.
"Kita sudah lakukan mediasi, dan saya pastikan SPT tersebut dibatalkan. Biaya-biaya yang terlanjur dikeluarkan juga dikembalikan," tegas Sujiwo di hadapan wartawan.
Namun, pernyataan tersebut tidak serta-merta meredakan polemik. Publik justru menyoroti keberadaan sosok pembeli lahan yang disebut-sebut sebagai aktor utama dalam perusakan kawasan hutan mangrove. Sosok tersebut diidentifikasi sebagai saudara Ahong, yang menurut informasi lapangan, telah melakukan aktivitas penebangan dan penggusuran vegetasi mangrove di lokasi yang dipermasalahkan.
Sejumlah pihak mendesak agar Pemda Kubu Raya tidak hanya menindak oknum kepala desa, tetapi juga mengambil langkah hukum terhadap pembeli lahan yang diduga sebagai "cukong" dalam skema perusakan ekosistem pesisir tersebut.
"Jangan hanya oknum kepala desa yang dijadikan kambing hitam. Sang pembeli juga harus bertanggung jawab secara hukum. Ia bukan hanya membeli, tapi juga menjadi eksekutor utama dalam perusakan mangrove," ujar seorang pengamat lingkungan yang enggan disebutkan namanya.
Dugaan keterlibatan antara oknum kepala desa dan pembeli lahan ini dinilai sebagai bentuk kolaborasi melanggar hukum yang berpotensi melanggar sejumlah ketentuan, di antaranya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kasus ini membuka kembali sorotan terhadap lemahnya pengawasan tata ruang di wilayah pesisir, serta dugaan adanya kelonggaran administratif yang kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengubah fungsi lahan secara ilegal.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak penegak hukum terkait kemungkinan proses penyelidikan atau langkah pidana terhadap pihak pembeli. Sementara itu, masyarakat sipil dan kelompok pemerhati lingkungan mendesak agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum tidak tebang pilih dalam menegakkan aturan.
Sumber : Tim - Liputan
Redaksi Kalbar